Penjaga Makam
Sepanjang umur saya yang genap setengah abad, baru tercatat beberapa kali saya berhubungan dengan prosesi penguburan secara komplit. Tak banyak memang, namun sudah cukup membuat hati ini ciut. Memandikan pernah. Mengkafani sudah juga. Menyolati sering dan turun langsung ke liang lahat beberapa kali. Namun, terlibat langsung menangani prosesi dari awal sampai akhir – mengurus jenazah – baru dua kali. Pertama, saat kakak tertua istri meninggal. Dan kedua, ketika Bapak saya meninggal beberapa minggu yang lalu. Ada kesamaan kesan yang saya peroleh dari dua pengalaman di atas. Yaitu peran penting penjaga makam atau kuncen dengan jasa dan kiprahnya. Semua harus tunduk dan patuh padanya. Kuburan menjadi wilayah pengukuhannya. Perintah ini dan itu. Minta ini dan itu. Dan harus dipenuhi. Jika tidak, langsung meninggi nada bicaranya. Bahkan sering pundung. Yang begini ini masih untung, kadang berakhir dengan kericuhan dengan ahli warisnya. Padahal yang mati tenang dalam diam. Sehubungan dengan hal ini, saya seperti dinasehati; Kematian bukanlah bencana terbesar dalam hidup ini. Bencana terbesar dalam hidup adalah ketika ketakutan kita kepada Allah sudah mati saat kita masih hidup.
Selengkapnya bisa dibaca di Esai: Penjaga Makam